“Modal Tri Dharma menuju Perguruan Tinggi Kelas Dunia”
Oleh Muhammad Nur
Pada akhir tahun 2006, perguruan tinggi di Indonesia disentakkan dengan masuknya 4 perguruan tinggi di Indonesia dalam jajaran 500 besar perguruan tinggi dunia. PT tersebut adalah, UGM, UI, ITB dan Undip. Undip masuk pada urutan 495, dan diperbaiki urutan tersebut pada akhir tahun 2007 yakni pada urutan 485, dan diikuti pula oleh perguruan tinggi yang lain seperti IPB, Unair. Pada tahun 2008 pada pertemuan rembuk nasional pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional RI memberikan Anugerah Anindyaguna untuk 7 PTN Ketujuh perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (peringkat 360), Institut Teknologi Bandung (peringkat 369), Universitas Indonesia (peringkat 395), serta Universitas Diponegoro, Unversitas Airlangga, Institut Pertanian Bogor (peringkat 401-500). yang mengawali terpilihnya PT Indonesia dalam ranking dunia. Sejak tahun-tahun tersebut pemeringkatan internasional mewabah. Banyak perguruan tinggi terdorong untuk memasuki peringkat bergengsi tersebut. Pemerintah juga memberikan insentif khusus untuk tujuan tersebut. Dengan berjalannya waktu, perguruan tinggi di seluruh dunia mulai menyadari, kreteria yang digunakan oleh lembaga pemeringkat internasional bisa melenceng dari tujuan-tujuan perguruan tinggi di negara masing-masing. Kriteria dari lembaga pemeringkat mulai dipertanyakan, namun demikian pemeringkatan juga tak bisa dilupakan sepenuhnya, karena terlanjur sudah telah mempengaruhi calon mahasiswa dan institusi yang menerima alumni perguruan tinggi.
Kreteria UNESCO vs Kreteria Pemeringkat Internasional
Pada bulan Mei 2011, Unesco melakukan diskusi yang melibatkan peneliti, akademisi, analis kebijakan, mahasiswa, dan pimpinan-pimpinan lembaga internasional, tentang tanggung jawab PT dan pemeringkatan. Tahun ini, Unesco baru saja menerbitkan sebuah buku dengan judul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses (UNESCO, 2013). Buku ini lahir karena kekhawatiran Unesco dengan pola dan kretiria rangking yang ada, sehingga dari 16.000 an lebih perguruan tinggi seluruh dunia hanya 100 an saja yang tercatat dalam rangking. UNESCO, kemungkinan mengambil pemeringkat yang sangat ketat seperti Shanghai Jio Tung, atau Times Higher Education (THE). Selebihnya, perguruan tinggi yang lain, bahkan yang lebih banyak mendidik warga dunia tidak tercatat. Ini sangat berbahaya. Lain lagi QS sebagai lembaga pemeringkat dunia, dari 24.000 an PT, yang tercatat dalam peringkat hanya sekitar 700. Dalam tulisan ini contoh yang diambil adalah QS, karena lebih relevan dan masih mungkin dicapai oleh perguruan tinggi di Indonesia. Sebagai lembaga pemeringkat internasional QS menekankan pada hasil riset yang dipublikasikan (sekitar 40 % dari penilaian pakar terhadap sebuah PT, dan 20 % tingkat sitasi karya ilmiah sebuah PT oleh pakar dari PT lain). Jadi 60 % tergantung pada kualitas riset. Kriteria yang lain dari QS adalah terdapatnya sejumlah mahasiswa asing (bobot 5 %), dosen asing (bobot5 %), perbandingan jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa (bobot20 %) serta penilaian dari perusahan/insitusi tempat alumni bekerja (bobot 10 %).
Maraknya pemeringkatan perguruan tinggi, menimbulkan kekhawatiran bahkan dikalangan Unesco. Pemeringkatan telah mendorong beberapa negara untuk fokus pada segelintir elit perguruan tinggi dan dicemaskan dapat merusak prioritas dan kapasitas nasional. Lebih jauh lagi strategi regional dari masyarakat ilmiah bisa saja bergerser karena tuntutan pencapaian kriteria yang didikte oleh lembaga pemeringkat. Berdasarkan hal tersebut, Unesco coba lebih fokus pada pewujudan sistem yang berkelas dunia bukan pada kerja mandiri sebuah universitas kelas dunia. Kalau hanya terkunci pada universitas kelas dunia, ini sangat membahayakan karena hanya mengarah kepada universitas yang telah sangat maju dengan investasi sangat besar. Perguruan tinggi semacam ini akhirnya hanya diperuntukkan bagi kelompok elit tertentu. Pemerintah dari sebuah negara dituntut lebih bekerja keras untuk menyelasarkan antara prioritas nasional disuatu sisi dan pemenuhan kriteria peringkat disisi lain. Apa yang seharusnya di lakukan? Kita ketahui bersama bahwa posisi pendidikan tinggi di suatu negara sangatlah penting. Disisi lain tak semua negara mampu menyediakan pendanaan besar untuk berinvestasi dalam bidang riset. Maka sangatlah bijak menempatkan kualitas pendidikan tinggi dalam kerangka komparatif dan berskala internasional yang lebih luas. Persepsi ini menjadikan terbukanya peluang dari perguruan tinngi negara berkembang untuk dapat diperhitungkan. Dengan cara pandang ini, dunia pendidikan tinggi diharapkan lebih kompetitif dalam skala global dalam ranahnya lebih multi-polar. PT tak perlu memaksakan diri berinvestasi dengan biaya tinggi, namun mampu memberikan kontribusi untuk penciptaan pengetahuan asalkan terpublikasikan secara internasional.
TRI DHARMA PT dengan cara pandang lebih
Civitas akademika merupakan aset yang sangat penting bagi sebuah perguruan tinggi. Juga berlaku bagi perguruan tinggi di Indonesia. Indonesia telah merumuskan dengan baik Tridharma yang menjadi penyangga bagi seluruh kegiatan civitas akademika. Tridharma sudah menjadi ruh perguruan tinggi di Indonesia. Tiga pilar itu adalah darma pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tritunggal dharma tersebut telah menjadi budaya perguruan tinggi kita, dan sampai pada hal yang paling mendasar dalam pembentukan kurikulum sebuah perogram studi. Dimana letak kelemahannya sehingga PT Indonesia berapa tahun terakhir terus merosot ranking dunianya? Kelemahannya adalah pada penghayatan masyarakat PT yang belum begitu dalam pada tridharma tersebut. Dalam persaingan global sekarang ini, perguruan tinggi dan lembaga riset merupakan suatu kekuatan utama agar mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk hal tersebut, PT perlu menyadari bahwa kekuatan tridharma dapat dimanfaatkan asalkan kita mampu menggunakannya dengan cara pandang lebih. Dharma pertama seyogyanya menggunakan prinsip mendidik dan mengembangkan sumber daya manusia berkelanjutan. Dharma kedua sebaiknya menyentuh kemampuan menghasilkan ilmu dan teknologi baru melalui penelitian dan pengembangan. Akhirnya, dharma ketiga diusahakan mampu berkontribusi pada pembangunan nasional melalui alih sains dan teknologi kepada masyarakat. Kegiatan tridharma tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun yang terkait satu dengan yang lain, akan dapat menghasilkan karya intlektual yang dapat didesiminasikan ke masyarakat dalam arti luas, melalui publikasi ilmiah, seminar, paten, lisensi, buku, tulisan populer dan lain sebagainya. Kegiatan semacam inilah yang dapat dinilai oleh pemeringkat internasional, asalkan kegiatan-kegiatan tersebut tersebar secara internasional dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat internasional sehingga menjadi acuan (sumber sitasi). Jadi benang merahnya adalah kemampuan mempublikasikan hasil kegiatan Tridharma secara internasional yang yang merupakan unsur penting dalam penilaian universitas kelas dunia. QS memberikan bobot 40 % penilaian dari peer review dan 20 % dari jumlah karya ilmiah suatu PT disitasi oleh penggerak ilmu pengetahuan lain dari seluruh dunia. Semakin banyak karya yang dipublikasikan secara internasional, maka semakin dikenal suatu perguruan tinggi. Hal tersebut mendorong naiknya tingkat sitasi terhadap karya PT tersebut. Perguruan tinggi tersebut telah berkontribusi bagi perkembangan sains dan teknologi.
Apa yang telah dilakukan oleh Undip?
Sebagai universitas negeri yang telah berumur 56 tahun tradisi di Undip sudah mulai terbangun dengan baik untuk menjadi sebuah universitas yang layak diperhitungkan, termasuk salah satu universitas yang dapat dikelasifikasikan menjadi PT kelas dunia. Tradisi melakukan evaluasi diri secara kritis telah dilakukan oleh Undip sampai ke tingkat program studi. Perbaikan akreditasi menjadi perhatian serius. Penjaminan mutu menjadi perhatian yang sangat penting untuk menjamin produk yang dihasilkan oleh Undip semakin berkualitas. Begitu juga akreditasi tingkat universitas, yang akhirnya Undip terkulifikasi menjadi universitas kategore unggul (akreditasi A). Undip juga dengan teguh hati telah memilih visi 2020 sebagai universitas riset yang unggul. Visi ini merupakan kunci utama sebagai univeritas kelas dunia. Hanya research University dan entrepreneurial university yang memiliki potensi menjadi universitas kelas dunia. Mailstone lima tahunan juga telah dibuat dan telah digunakan sebagai patokan untuk terlaksananya misi, tercapainya tujuan dan sasaran dan akhirnya visi 2020 dapat dijangkau. Dalam tataran praktis, Undip telah memiliki perangkat keras yang layak mendorong universitas ini menjadi universitas kelas dunia, seperti Diponegoro Nasional University Hospital, ICT Center, Integrated laboratory, Center of Excellent, Multidisiplin Research Center dan lain sebagainya. Aktivitas penelitian dan publikasi internasional (Undip 6 besar di Indonesia setelah ITB, UI, UGM, IPB, ITS). Kemampuan Publikasi internasional inilah yang perlu mendapat perhatian lebih serius dan kemampuan inilah yang akan berpotensi mengangkat undip ke pringkat yang lebih baik lagi. Akhirnya, dalam kondisi PT tak dapat mengelak dari pemeringkatan universitas kelas dunia, dan sambil menunggu kretiria yang lebih relevan dengan kebutuhan PT, mahasiswa, para pembuat kebijakan dan kebutuhan sebuah bangsa, sebaiknya prioritas utama saat ini adalah mendorong publikasi internasional dari semua kegiatan Tridharma (dengan cara pandang lebih), terutama inovasi dalam pendidikan dan pembelajaran, hasil penelitian dan kegiatan penyelesaian masalah masyarakat. Semoga.