Belasan Peneliti Perguruan Tinggi Jateng dan DIY Diajak Berkeliling Dipo Technology
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Telah masuk ke dalam susunan agenda pelaksanaan Workshop Teaching Industry Universitas Diponegoro, pada Sabtu (24/2/2018) siang ini, belasan peneliti berbagai perguruan tinggi diajak berkeliling menyaksikan secara langsung proses penggunakan dua alat hasil produksi PT Dipo Technology Semarang.
Seperti yang diinformasikan sebelumnya, Divisi Teaching Industry PT Dipo Technology Semarang menggelar workshop khusus untuk para akademisi peneliti dari belasan perguruan tinggi baik di Jawa Tengah maupun Yogyakarta.
Workshop itu dilaksanakan sejak Jumat (23/2/2018), di Hotel Grasia Jalan S Parman Gajahmungkur Kota Semarang, dan dijadwalkan selesai hari ini, Sabtu (24/2/2018).
Sebelumnya, dua pemateri telah melontarkan seluruh gagasannya dan berbagi cerita kepada para peserta. Mereka adalah pendiri Center for Plasma Research (CPR) Indonesia Dr Muhammad Nur terkait urgensi invensi dan inovasi bagi daya saing dan ketahanan bangsa. Serta Direktur PT Dipo Technology Semarang Azwar SE.
“Tadi ada dua pemateri lagi sebelum kami ajak ke Tembalang Kota Semarang (PT Dipo Technology). Yakni ada Direktur Inovasi dan Pengembangan Hasil Riset Undip Dr I Nyoman serta Kabid Pelayanan Hukum Kemenkumham Jawa Tengah Dr Setyawati,” kata Ketua Panitia Workshop Teaching Industry, drg Atika Rahmi Hendrini.
Kepada Tribunjateng.com, Sabtu (24/2/2018), dia mengutarakan, dua proses atau cara kerja hasil produk yang dihasilkan PT Dipo Technology yang diperlihatkan secara langsung kepada para peserta tersebut yakni D’Ozone dan Zeta Green.
“D’Ozone itu suatu teknologi plasma untuk memperpanjang masa simpan seperti daging, ikan, sayur, maupun buah buahan. Sedangkan Zeta Green adalah alat penjernih udara menggunakan teknologi plasma yang mampu membunuh virus, bakteri, maupun jamur,” jelasnya.
Staf Peneliti Divisi Teaching Industry PT Dipo Technology itu berharap, melalui seluruh rangkaian kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari ini, para peserta yang notabene selama ini juga melaksanakan berbagai kegiatan riset, dapat terbuka wawasannya untuk mulai mencoba melaksanakan riset yang tak sekadar berbentuk paper.
“Tetapi juga ada produk nyata dari hasil riset atau penelitian yang mereka lakukan. Terlebih lagi produk inovasi tersebut dapat secara langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lebih luas, tidak sekadar untuk dunia industri,” tandasnya.
Dia mengklaim miris begitu melihat data yang tersaji di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. Ternyata hanya sekitar 1,76 hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia, yang baru bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
“Padahal, perlu diketahui bersama, hampir setiap tahun Pemerintah Pusat menyisihkan anggaran APBN sekitar 20 persen untuk pemenuhan kegiatan riset. Yang harapannya dari kegiatan itu dapat menghasilkan suatu produk inovatif yang bisa dimanfaatkan masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Dan itu semua, lanjutnya, belum sepenuhnya berjalan secara baik. Semakin memprihatinkan lagi, dari 20 persen pasar industri di Indonesia, hanya sekitar 8 persen pula yang bisa dirasakan masyarakat secara lebih luas.
“Akibat belum optimalnya itu, indeks daya saing di negeri ini merosot, dari semula di posisi 36 menjadi 41 di dunia. Dari kemerosotan itu, posisi Indonesia saat ini masih kalah dengan beberapa negara tetangga seperti di antaranya Malaysia, Filipina, maupun Thailand,” tandasnya.
Dia menyampaikan, bertolak dari kondisi tersebut, yang menjadi alasan lain pula pihaknya menggelar workshop bertajuk Hilirisasi dan Komersialisasi Hasil Produk Inovasi itu. Tujuannya saling sharring dan mengajak baik perwakilan perguruan tinggi maupun industri dalam mencari solusi yang bermanfaat ke depannya.
“Secara umum, kami ingin ajak seluruh pihak bersama-sama tidak sekadar melaksanakan riset yang hasilnya berbentuk paper, tetapi juga dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Itu tentunya melalui produk-produk inovatif,” tuturnya.